Franklin Delano Roosevelt sedang menuju puncak: menjadi kandidat wakil presiden Amerika Serikat ketika mendapat serangan polio tahun 1921. Hidupnya berubah total dengan kelumpuhan dari pinggang ke bawah pada usia 39 tahun.
Frustrasi menghadapi karier politiknya berakhir, selama tiga tahun ia menjalani segala cara agar bisa berjalan lagi. Hingga akhirnya FDR—demikian ia dikenal rakyat Amerika—mendapat surat dari George Foster Peabody, sahabatnya. George mengabarkan, kondisi seorang anak muda yang terkena polio membaik setelah berendam air panas kaya mineral di kawasan peristirahatan Georgia.
Meski tidak sembuh total setelah berendam, kaki dan otot panggulnya menguat sehingga ia bisa berdiri. Maka, FDR kembali masuk ke panggung politik. Ia sukses menjadi Gubernur New York tahun 1928 dan empat tahun kemudian terpilih sebagai Presiden AS.
FDR berhasil membawa negaranya keluar dari krisis ekonomi dunia dan menjadi presiden terlama dalam sejarah AS: masih terpilih tiga kali lagi sampai meninggal 12 April 1945.
Di luar pemerintahan, FDR juga mewariskan Roosevelt Warm Spring Institute yang didirikan tahun 1927. Hingga saat ini Roosevelt Institute terus mengembangkan berbagai metode rehabilitasi untuk meningkatkan kualitas hidup mereka yang bermasalah dengan mobilitas. Situs resmi lembaga ini menyebutkan, 4.000 orang datang berobat setiap tahun.
Terapi air
Hydrotherapy atau terapi air memang menjadi salah satu metode penyembuhan yang populer di AS pada abad ke-19. Namun, sejarah panjang terapi air sebenarnya sudah ada sejak zaman Mesir, Yunani, dan Romawi kuno.
Hippocrates (460-377 Sebelum Masehi), ilmuwan Yunani dan bapak kedokteran modern, meresepkan mandi air panas untuk menyembuhkan penyakit. Pada zaman Caesar Augustus (27-14 Sebelum Masehi), muncul istilah spa—salus per aquam, sehat dari air—ketika tentaranya menemukan sumber air panas pegunungan di desa Spa, Belgia. Bangsawan Mesir berendam dengan campuran minyak esensial dan sari bunga.
China dan Jepang juga punya sejarah panjang terapi air. Bahkan, bangsa Jepang punya tradisi berendam di sumber-sumber air panas pegunungan. Namun, Indonesia sebagai negeri cincin api—dikelilingi gunung-gunung berapi—tradisi ini lebih banyak dikenal masyarakat lokal di dekat sumber air panas, belum menjadi budaya bersama.
Padahal, di kawasan Jawa Barat, misalnya, banyak sumber air panas bisa dimanfaatkan. Sebutlah pemandian air panas di kawasan Ciater, Subang, Jawa Barat, yang terletak di lereng Gunung Tangkubanparahu. Ada juga pemandian air panas di kaki Gunung Ciremai, Kuningan, atau di Cipanas, Garut, yang berlokasi di Gunung Guntur.
Berbeda dengan sumber air panas kawasan Jawa Barat yang mudah dicapai, di Lombok, Nusa Tenggara Barat, masyarakat yang berobat harus mendaki Gunung Rinjani untuk berendam di kalderanya. Di kawasan gunung berapi memang terdapat banyak rembesan air yang berasal dari pemanasan dapur magma. Air ini mengandung berbagai mineral yang dipercaya menyembuhkan penyakit.
Pendeta Bavaria, Sebastian Kneipp (1821-1897), mengembangkan aplikasi terapi air ini secara sistematis untuk mendukung pengobatan medis. Bukunya, My Water Cure, yang diterbitkan tahun 1886, banyak menjadi acuan berbagai terapi air di seluruh dunia.
Menurut Dr dr Tirza Z Tamin, SpKFR-K, dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi dari Departemen Rehabilitasi Medik FKUI/RSCM, sifat fisik air bisa memberikan efek terapeutik berdasarkan tekanan, berat jenis, ataupun turbulensi.
”Di pusat rehabilitasi, semua sifat fisik air ini bisa diatur, demikian juga kandungannya. Namun, air di alam sebaiknya dicek dulu jenis mineral, kadar elektrolit, alkali, ataupun kloridanya agar tidak merusak kulit,” katanya.
Air pegunungan biasanya mengandung sodium yang menstimulasi sistem limpatik ataupun magnesium dan bikarbonat yang bisa membantu detoksifikasi. Namun, air panas gunung berapi juga bisa mengandung arsenik yang bersifat racun.
Bagian pengobatan
Masalah kesehatan yang biasanya diterapi dengan air adalah gangguan ataupun cedera pada tulang, sendi dan otot, jantung, serta paru, baik pada anak-anak maupun orang tua.
Terkait dengan berat jenis, misalnya, air akan berfungsi mengambangkan sehingga tubuh bisa bergerak dengan beban lebih ringan. ”Aliran air juga membantu mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan kekuatan otot, sedangkan tekanan hidrostatis membantu mengurangi pembengkakan,” kata Tirza.
Tidak mengherankan apabila lembaga fisioterapi dan rehabilitasi medik mempunyai kolam air yang dapat diatur ketinggian dan arusnya. Di sejumlah negara, terapi air alami ataupun buatan memang terus dikembangkan. Menurut Dr dr Widjajalaksmi Kusumaningsih, SpRM MSc, juga dari Departemen Rehabilitasi Medik FKUI/RSCM, ia pernah mencoba fasilitas air hangat alami di kaldera salah satu gunung di Budapest, Hongaria.
Namun, Tirza dan Widjajalaksmi mengingatkan bahwa terapi air tidak boleh dilakukan untuk sembarang orang. Mereka yang mengalami gangguan kognitif, punya penyakit menular, atau sedang demam tidak dianjurkan menjalani terapi air ini. Berbagai situs terapi air juga mengingatkan agar orang dengan diabetes, tekanan darah tinggi, ataupun perempuan hamil tidak berendam di air panas berlama-lama.
Sumber : Kompas.com