Tiga terdakwa kasus pembobolan dana nasabah Citibank sebesar Rp 21,4 miliar, Andhika Gumilang, Visca Lovitasari dan Ismail bin Janim sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi, tersangka utama perkara ini, bekas Senior Relationship Manager Citibank Malinda Dee tak kunjung disidang.
Tidak seperti ketiga terdakwa itu yang relatif lebih cepat disidang, Malinda masih harus menunggu satu hingga dua minggu lagi untuk duduk di kursi pesakitan. Status istri Andhika Gumilang ini masih tersangka.
Menurut Juru Bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Ida Bagus Dwiyantara, Malinda baru bisa disidang setelah seminggu atau dua minggu berkas perkaranya diterima pengadilan dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
“Berkasnya saja baru masuk tanggal 19 Oktober lalu. Paling lama, makan waktu hingga dua minggu,” katanya melalui SMS kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Setelah berkas Malinda masuk ke pengadilan, sambung Ida, tahap selanjutnya adalah melengkapi syarat-syarat administratif. Kemudian, pengadilan membentuk majelis hakim yang akan menyidangkan perempuan berusia 48 tahun itu.
“Hingga kini, majelis hakimnya belum dibentuk. Tapi, berkasnya sudah kami terima dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan,” katanya.
Sebelumnya terbetik kabar, sidang perdana Malinda digelar kemarin, Senin, 24 Oktober 2011. Namun, Ida mengaku tidak tahu dari mana sumber kabar tersebut. “Bagaimana mau sidang, hakimnya saja belum ditetapkan kok,” tandasnya.
Lantas, bagaimana kondisi Malinda jelang disidang? Secara umum, menurut sumber yang merupakan petugas rumah tahanan, Malinda sehat, meski kadang masih mengeluhkan nyeri di dadanya. Lantaran itu, ada dokter yang dua minggu sekali mengontrol payudaranya. “Dia masih rutin minum obat,” katanya.
Menjelang diadili, menurut sumber ini, Malinda yang ditahan di sel isolasi Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, sering dibesuk pengacaranya. Mereka menyiapkan diri menghadapi dakwaan dan tuntutan jaksa.
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Masyhudi membenarkan bahwa Malinda belum bisa memasuki arena meja hijau. Namun, dia menambahkan, berkas perkara Malinda sudah diserahkan ke PN Jaksel pada 19 Oktober lalu.
“Sudah dilimpahkan,” katanya melalui SMS kepada Rakyat Merdeka.
Menurut Masyhudi, jaksa menjerat Malinda dengan tiga dakwaan yang terkait pasal pidana perbankan dan pencucian uang. Pertama, Malinda akan didakwa melanggar Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, subsidair Pasal 49 ayat (2) huruf b.
Dakwaan kedua, lanjut dia, Malinda melanggar Pasal 3 ayat (1) huruf b Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dakwaan ketiga, Malinda melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. “Ancaman pidananya minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara, serta denda minimal Rp 10 miliar dan paling banyak Rp 200 miliar,” jelasnya.
Masyhudi menyatakan, masa penahanan Malinda sudah diperpanjang 30 hari, terhitung sejak 5 Oktober lalu. Soalnya, kata dia, masa penahanan Malinda selama 20 hari di bawah Kejaksaan telah berakhir pada 4 Oktober lalu. Kini, Malinda statusnya masih menjadi tahanan di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur di bawah pengawasan Kejari Jaksel.
“Sesuai KUHAP, sudah diperpanjang 30 hari,” ujar Masyhudi.
Masyhudi juga mengatakan, pihaknya segera menyelesaikan tiga berkas bawahan Malinda di Citibank yang disangka turut terlibat kasus ini. Tiga berkas itu ialah milik bekas Teller Citibank Dwi Herawati, Head Teller Citibank Landmark Jakarta Novianty Irine, dan Betharia Panjaitan yang juga menjabat sebagai Head Teller Citibank Landmark, Jakarta.
“Secepatnya akan diselesaikan dan dikirim ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” ujarnya.
Perlindungan Buat Nasabah Belum Maksimal
Deni Daruri, Presdir CBC
direktur LSM Center for Banking Crisis (CBC) Deni Daruri menilai, praktik pembobolan uang nasabah dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap suatu lembaga perbankan. Pasalnya, dalam perkara ini nasabah mengalami kerugian materil yang besar.
“Kalau praktik ini kontinyu, saya yakin lembaga perbankan akan sepi peminat. Bagaimana pun besarnya bank itu, kalau masyarakat sudah mati rasa, habislah sudah,” kata Deni.
Karena itu, dia meminta Bank Indonesia (BI) sebagai pusatnya lembaga perbankan segera merealisasikan pembuatan Undang-Undang Perlindungan Nasabah. Sebab, kata dia, BI selama ini belum memberikan perlindungan yang maksimal terhadap para nasabah di seluruh lembaga perbankan.
“Ini adalah aplikasi dari motto knowing your costumor. Kita ingin lihat, mana realisasinya,” ucapnya.
Deni juga mendesak Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) supaya mengeluarkan aturan main baru tentang pembayaran premi lebih besar kepada lembaga perbankan yang kurang sehat atau sedang bermasalah.
“Saat ini pembayaran premi lembaga perbankan sehat dengan sakit sama saja. Harusnya dibedakan, jadi masyarakat akan selalu memilih bank yang sehat,” tandasnya.
Selain uang nasabah yang rawan dibobol, Deni juga berpendapat, lembaga perbankan saat ini sangat rawan dengan tindak pidana pencucian uang. Karena itu, Deni meminta BI tak mengulur waktu untuk membuat Undang-Undang Perlindungan Nasabah.
“Di dalamnya itu mesti ada pasal mengenai money laundering yang saat ini marak terjadi,” ucapnya.
Deni berharap, perkara seperti Malinda Dee tidak akan terulang di kemudian hari. Sebab, kata dia, lembaga perbankan akan menuai krisis jika kasus seperti ini terus terjadi.
“Pertama, karena masyarakat tidak percaya lagi kepada bank. Kedua, uang yang dibobol itu tak jelas, apakah akan diganti oleh pihak bank atau tidak,” tuturnya.
Minta PN Jaksel Segera Sidang Malinda Dee
Harry Witjaksana, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Harry Witjaksana meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan segera membentuk majelis hakim untuk menyidangkan pembobolan dana nasabah Citibank dengan terdakwa Malinda Dee.
Pasalnya, perkara Malinda merupakan kasus yang menarik perhatian masyarakat dan uang yang dibobol besar. “Sebaiknya segera sidangkan Malinda Dee demi menjawab rasa penasaran masyarakat terhadap proses hukum kasus tersebut,” katanya.
Harry mengakui, pembentukan majelis hakim suatu perkara bisa memakan waktu hingga satu bulan. Namun, dia meminta hal itu tidak berlaku pada perkara Malinda Dee. Menurutnya, Pengadilan Negeri Jaksel harus membuat pengecualian untuk kasus ini. “Supaya kasus ini cepat selesai. Ingat, angka yang dibobol Malinda ini sangat fantastis,” ujarnya.
Politisi Demokrat ini juga meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memilih majelis hakim yang menguasai bidang pencucian uang serta dunia perbankan. Sebab, kata dia, kasus Malinda akan menjadi perkara rumit manakala majelis hakim kurang menguasai dunia perbankan. “Harus yang kompeten tentunya. Kalau bisa, majelis hakim kasus itu dipimpin hakim yang paling senior dan jam terbang yang tinggi,” tandasnya.
Harry yakin, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mempunyai sosok hakim yang mumpuni dalam menangani perkara pencucian uang dan pembobolan dana nasabah, sehingga masyarakat tak perlu khawatir pada kinerja hakim PN Jaksel.
Dia juga minta masyarakat tidak memandang sebelah mata para hakim di pengadilan tersebut. “Pastinya mereka punya hakim yang kredibel. Lagipula, kalau menyoroti hakim sebaiknya masalah itu diserahkan kepada Mahkamah Agung,” katanya. [rm]